Women friendship: Nur dari Surga

 



Lingkar di pelupuk mataku semakin berat. Hidungku bumpat. Pandanganku kabur. Beberapa kali langkahku ingin beranjak mundur, tapi lantas teman-teman menepuk pundakku pelan seolah takut aku akan pingsan. Aku bukan hendak merebahkan diri di sisi mereka. Hanya aku tidak tahan berlama-lama di sini. Isak tangis mereka semakin membuat telingaku berdengung. Semacam anak burung yang ditinggal induknya berkelana. Seperti bisingnya klakson di kemacetan kota. Sudah kuputuskan, setelah menabur bunga aku harus segera pergi. Semakin meratapi kepulangannya, semakin aku membayangkan dirinya.

“Sab, mau kutemani?” tanya Lusi.

Aku menggeleng tanpa sepatah kata. Lusi tahu betapa aku sangat berduka. Untuk sementara aku memang ingin rehat dari pikiran-pikiran yang menekan. Kubebaskan diriku menjalani hari apa adanya. Semampu diri melakukannya, seperti pesan Nur. Keseharianku bersama gadis berhijab itu lama-lama menembus alam bawah sadarku. Aku mengenal kepribadiannya. Nur sangat giat menghidupkan masjid di sekolah. Di sela luangnya, gadis berkulit hitam itu menyempatkan diri menemani sekelompok teman yang ingin belajar mengaji.

Semangatnya begitu terjaga. Berapa pun jumlah peserta yang hadir, dia tetap mengaji dengan suaranya yang serak-serak basah. Aku hanya bisa mendengarkan dari balik pintu sambil mengerjakan tugas di selasar masjid. Jika tiba-tiba datang satu-dua siswa duduk di sana, kesempatan itu langsung dimanfaatkannya untuk mengajak mereka bergabung. Rona wajah Nur terpancar bahagia lantaran ada jamaah. Namun, jika mereka memilih enggan, aku pun merasakan kesedihan bergelayut di dadanya. Aku termangu. Sungkan menyambar karena selalu menolak tawaran itu.

Dua hari ini membuatku terpukul. Aku menepikan diri di taman kota. Sejauh mata memandang dan menatap bebas, hanya ada hamparan bunga teratai bermekaran mengelilingi tugu kebanggaan Kota Malang. Senja di antara riak air itu menyilaukan mata. Cahayanya yang menyengat oranye berpendar di atas air kolam yang bergelombang pelan. Bias sinarnya yang muncul nampak indah memancarkan warna-warni pelangi.

            Langkahku gontai di tepian ini. Jemariku menyibak air yang berselimut dedaunan. Aku hanya ingin menyendiri. Menikmati temaram senja. Menemani sang surya tenggelam menuju peraduannya. Angin petang mulai berhembus pelan. Aku mendesah. Kubiarkan rambutku tergerai terbawa arus angin. Bisa apa aku melawan takdir Tuhan? Pikiranku keruh. Aku berjalan tanpa arah di taman ini. Lalu mengambil duduk di satu bangku kosong tepat berhadapan dengan kolam itu.

           Kusandarkan punggungku. Cukup banyak orang yang masih ada di sini. Taman kota memang tidak pernah sepi. Beberapa kulihat mereka bersiap untuk bermain bola bersama, ada juga panggung teater jalanan, anak-anak nongkrong menunggu mie ayam mengepul dari mangkoknya, berdiskusi, dan lainnya kupikir sekedar foto selfi. Aku sendiri masih ingin menikmati rasa bersalah yang terpenjara ini.

            Boleh, duduk di sini?” suara perempuan berhijab mengejutkanku.

            Silahkan,” jawabku tanpa menoleh. Lusi anggapku. Dia duduk di sebelahku.

            Sedang patah hati? tanya perempuan itu ingin tahu. Sementara tatapanku masih fana. Kepalaku menunduk lesu bertirai helai rambut yang menjuntai.

“Semakin lama berinteraksi dengan Nur, membuat pikiran tentang pacar berhamburan. Pacar menjadi sesuatu yang tidak penting saat ini. Apalagi ketenaranku mulai meredup. Kenyataan bahwa ada gadis idola selain aku di sekolah membuatku semakin menggerutu. Riak kesombongan melemah dan pikiranku menjadi kosong.”

“Nur gadis idola?”

“Nur-gadis biasa, tapi bagiku dia luar biasa.”

Perempuan di sampingku ber-oh pelan lalu menimpali. “Teman.”

Mendengar pertanyaan itu membuat mataku terbelalak. Nur bukan sekedar teman. Dia sahabat. Bahkan lebih dari itu. Dia bagai saudara. Ya, saudara seakidah menurutnya. Belum pernah kutemui sahabat sebaik dan sehebat Nur. Tidak ada yang menggantikan posisinya sebagai juara kelas. Banyak yang berkata ia pasti sempurna untuk semua nilai ujian atau keturunan keluarga kaya yang segala sesuatunya terpenuhi. Tapi dengan tegas, Nur menjawab-tidak. Aku tahu nilai ujiannya pernah berada di angka merah. Remidial pun pernah. Dia yatim piatu. Kehidupannya pas-pasan diasuh sang nenek. Dia juga penjual kue di kantin sekolah. Namun, Nur tak pernah malu dengan itu semua. Nur bilang, itulah jejak yang menjadi pembeda antara dirinya dengan orang lain.

“Dia sahabatku.” Aku mengaku.

“Terjadi masalah dalam persahabatan kalian?”

            Senja makin temaram. Langit semakin gelap. Aku berhenti tepat di hadapan sang senja. Tepat di hadapan tugu kota sebagai batasan. Aku lelah dan mulai terbawa perasaan.

            “Bukan sekali saja Nur mengajakku berhijrah, tapi aku selalu mengelak. Malas sebab menyimak kajian keagamaan semacam itu bisa kunikmati lewat media sosial. Meski kenyataannya tidak pernah kuunduh.

“Seharusnya kau beruntung memiliki sahabat yang baik.”

Aku mendongak. Mengusap air mata yang bergulir kembali setelah pemakaman pagi tadi. Lantas mengangguk. Suatu hari yang lalu, entah ketika itu aku bisa menghargai Nur. Kucoba datangi acara itu dengan modal seragam sekolah yang hanya sebatas lutut tanpa hijab. Sementara Nur duduk di sampingku. Kulirik wajah teduhnya. Kutelaah pesan tersiratnya. Nur ingin aku menjadi lebih baik.

“Air matamu seperti sebuah penyesalan.”

Hatiku terasa perih kembali. Aku bahkan tak bisa menikmati panorama senja yang tidak pernah bisa dilukiskan keagungannya oleh manusia. Seperti malam itu. Aku tak bergeming acapkali Nur berbisik agar aku menutup aurat. Padahal ia berusaha menyematkan kehormatanku. Ya, Nur telah menjaga kesucianku dari lelaki gaduh itu. Ah, rupanya hidayah belum kurengkuh. Sengaja kututup ponsel darinya. Kuregangkan pundak yang kaku di bantalan kursi sambil menyeduh secangkir coklat kemudian kuletakkan di atas meja. Mataku terpejam beberapa jenak. Seketika lantunan ayat yang dibaca Nur berdengung di pikiranku. Suara itu menembus euforia memecah keheningan. Memutar kumpulan film tentang kehidupanku di alam bawah sadar. Aku sedang tertawa, gembira, penuh cinta. Tetapi sejurus kemudian aku dibenci, menangis, dan tersisih. Rasa takut membanjiri. Cepat-cepat kuteguk coklat kedua kalinya. Aku masih tak peduli.

“Nur tak pernah memintaku menjadi sahabatnya. Namun, pada setiap kesempatan, entah mengapa Tuhan menghadirkan Nur yang selalu membantuku.”

Tidak ada tanggapan.

“Aku pernah membencinya. Bahkan malu jika berteman dengannya. Sebab aku idola, Nur bukan. Tapi Nur, ia tak mempersoalkan hal itu. Dia tulus.” Aku sedikit tertawa sinis. “Gadis, bodoh.”

Aku beranjak dari duduk. Kulempar secuil kerikil ke arah kolam. Ikan-ikan di dalamnya berpendar menimbulkan getaran. Aku tertunduk dengan helai rambut yang menghalangi pandangku. Meringik kembali. Gadis berhijab di sampingku menjajari posisiku.

“Tapi aku lebih bodoh!” Air mataku bergulir ke pipi. Kedua tanganku mencengkeram kepala seperti enggan mengingat peristiwa kelam di laboratorium sekolah. “Api itu membara karena kecerobohanku, semua siswa berhambur menyelamatkan dirinya masing-masing. Tapi Nur, lagi-lagi ia menolongku. Pertolongan yang justru mencelakakan diri dan merenggut nyawanya sendiri. Mengapa Nur? Mengapa kau lakukan hal itu padaku?”

Waktu terdiam beberapa saat. Desir angin menusuk sesal di kalbu. Namun, penyesalan itu tak mampu mengembalikan Nur di hadapanku.

 “Dia melakukan karena surga yang didamba. Tidakkah kau melihat senyum kebaikan itu ia tanam untuk menjemput orang tua yang menunggunya di sana?” tutur gadis di sampingku.

Aku terhenyak.

“Nur beruntung, kau telah menjadi jalan baginya menjadi Nur-cahaya yang sesungguhnya, lanjutnya.

“Tidak, seharunya aku yang berterima kasih kepadanya.”

“Semoga kau bisa memetik hikmah dari setiap kebaikannya.”

Wajah di balik cermin air itu menyeringai lebar. Lebih lebar dari daun teratai yang mengambang di atasnya. Lebih lembut dari mekar kembangnya yang bercorak keunguan. Dan nampak lebih hidup dari gemericik ikan-ikan di bawahnya. Aku seperti memandang Nur.

“Selamat tinggal.”

Mataku lelah. Tapi tak bisa terkatup. Aku menoleh. Seakan ingin mengiringi langkah Lusi menyusur pulang. Namun, seketika aku menoleh, gadis itu hilang tak berbekas. Aku mencari pandang ke segala penjuru. Dari jauh, beberapa teman memanggilku.

“Sabrina..., akhirnya kami menemukanmu,” ujar Lusi dengan napas terengah.

Oh, tidak! Bayangan di balik air itu memang benar Nur. Sesungguhnya ia tak mati sebab ia selalu ada dalam hati.[]

***

 

Cerpen Harian Bhirawa edisi Jumat, 5 Agustus 2022


Posting Komentar

0 Komentar